Sabtu, 24 Januari 2015

DIAGNOSIS FRAKTUR

Pemeriksaan untuk menentukan ada atau tidaknya patah tulang terdiri atas empat langkah: tanyakan (anamnesis, adakah cedera khas), lihat (inspeksi, bandingkan kiri dan kanan), raba (analisis nyeri), dan gerakan (akif dan/atau pasif). 1. Riwayat pasien Sering kali pasien datang sudah dengan keluhan bahwa tulangnya patah karena jelasnya keadaan patah tulang tersebut bagi pasien. Sebaliknya juga mungkin, fraktur tidak disadari oleh penderita dan mereka datang dengan keluhan keseleo, terutama patah yang disertai dislokasi fragmen yang minimal. Dalam persepsi penderita trauma tersebut bisa dirasa berat meskipun sebenarnya ringan, sebaliknya bisa dirasakan ringan meskipun sebenarnya berat. Diagnosis fraktur juga dimulai dengan anamnesis adanya trauma tertentu, seperti jatuh, terputar, tertumbuk, dan berapa kuatnya trauma tersebut. Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. Selain riwayat trauma, biasanya didapati keluhan nyeri meskipun fraktur yang fragmen patahannya stabil, kadang tidak menimbulkan keluhan nyeri. Banyak fraktur mempunyai cedera yang khas. Perlu ditanyakan mengenai keluhan penderita dan lokasi keluhannya. Keluhan klasik fraktur komplet adalah sakit, bengkak, deformitas, dan penurunan fungsi. Sakit akan bertambah apabila bagian yang patah digerakkan. Deformitas fraktur harus dijelaskan dengan lengkap. Kita harus mengetahui bagaimana terjadinya kecelakaan, tempat yang terkena dan kemungkinan adanya faktor presipitasi fraktur (misal, tumor tulang, dll). Untuk itu, perlu ditanyakan riwayat pasien sebelumnya, apakah pasien mengalami osteoporosis, hipertensi, mengkonsumsi kortikosteroid, dll. Perlu pula diketahui riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dikonsumsi, merokok, riwayat alergi, dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain. 2. Pemeriksaan fisik a. Inspeksi / look Pada pemeriksaan fisik mula-mula dilakukan inspeksi dan terlihat adanya asimetris pada kontur atau postur, pembengkakan, dan perubahan warna local. Pasien merasa kesakitan, mencoba melindungi anggota badannya yang patah, terdapat pembengkakan, perubahan bentuk berupa bengkok, terputar, pemendekan, dan juga terdapat gerakan yang tidak normal. Adanya luka kulit, laserasi atau abrasi, dan perubahan warna di bagian distal luka meningkatkan kecurigaan adanya fraktur terbuka. Pasien diinstruksikan untuk menggerakkan bagian distal lesi, bandingkan dengan sisi yang sehat. b. Palpasi / feel Nyeri yang secara subyektif dinyatakan dalam anamnesis, didapat juga secara objektif pada palpasi. Nyeri itu berupa nyeri tekan yang sifatnya sirkuler dan nyeri tekan sumbu pada waktu menekan atau menarik dengan hati-hati anggota badan yang patah searah dengan sumbunya. Keempat sifat nyeri ini didapatkan pada lokalisasi yang tepat sama. Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi. Neurovaskularisasi yang perlu diperhatikan pada bagian distal fraktur diantaranya, pulsasi arteri, warna kulit, pengembalian cairan kapiler (capillary refill test), sensibilitas. Palpasi harus dilakukan di sekitar lesi untuk melihat apakah ada nyeri tekan, gerakan abnormal, kontinuitas tulang, dan krepitasi. Juga untuk mengetahui status vaskuler di bagian distal lesi. Keadaan vaskuler ini dapat diperoleh dengan memeriksa warna kulit dan suhu di distal fraktur. Pada tes gerakan, yang digerakkan adalah sendinya. Jika ada keluhan, mungkin sudah terjadi perluasan fraktur. c. Gerakan / moving Gerakan antar fragmen harus dihindari pada pemeriksaan karena menimbulkan nyeri dan mengakibatkan cedera jaringan. Pemeriksaan gerak persendian secara aktif termasuk dalam pemeriksaan rutin fraktur. Gerakan sendi terbatas karena nyeri, akibat fungsi terganggu (Loss of function). 3. Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan radiologis dengan pembuatan foto Rontgen dua arah 90o didapatkan gambaran garis patah. Pada patah yang fragmennya mengalami dislokasi, gambaran garis patah biasanya jelas. Dalam banyak hal, pemeriksaan radiologis tidak dimaksudkan untuk diagnostik karena pemeriksaan klinisnya sudah jelas, tetapi untuk menentukan pengelolaan yang tepat dan optimal. Sehingga pemeriksaan radiologi untuk fraktur ini dapat digunakan untuk diagnosis, konfirmasi diagnosis dan perencanaan terapi, serta untuk mengetahui prognosis trauma. Pada tulang, panjang persendian proksimal maupun yang distal harus turut difoto. Bila ada kesangsian atas adanya fraktur atau tidak, sebaiknya dibuat foto yang sama dari anggota gerak yang sehat untuk perbandingan. Bila tidak diperoleh kepastian adanya kelainan, seperti fisura, sebaiknya foto diulang setelah satu minggu, retak akan menjadi nyata karena hiperemia setempat sekitar tulang yang retak itu akan tampak sebagai “dekalsifikasi”. Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut “rule of two”, terdiri dari : a. Memuat 2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral b. Memuat 2 sendi di proksimal dan distal fraktur c. Memuat gambaran foto 2 ekstremitas, yaitu ekstremitas yang tidak terkena cedera (pada anak) d. Dilakukan foto sebanyak 2 kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar