Sindrom Steven-Jhonson merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang
ditandai oleh trias
kelainan pada kulit vesikulobulosa,
mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat.Sinonimnya antara lain : sindrom de
Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor,
eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular,
dermatostomatitis, dll. Istilah eritema multiforme yang
sering dipakai sebetulnya hanya merujuk pada kelainan kulitnya saja.
§
Bentuk klinis SSJ berat jarang terdapat pada bayi,
anak kecil atau orang tua.
Lelaki dilaporkan lebih sering menderita SSJ daripada perempuan.
§
Tidak terdapat kecenderungan rasial terhadap SSJ walaupun terdapat laporan yang
menghubungkan kekerapan yang
lebih tinggi pada jenis HLA tertentu.
Penyebab
§
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti karena dapat disebabkan oleh berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering dikaitkan dengan respons imun terhadap obat.
§
Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya :
infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit),
§
obat (salisilat,
sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif),
§
makanan (coklat),
§
fisik (udara dingin,
sinar matahari, sinar X),
§
lain-lain
(penyakit polagen, keganasan, kehamilan).
§
Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang
diberikan sebelum masa
awitan setiap gejala klinis yang
dicurigai (dapat sampai 21 hari). Bila pemberian obat diteruskan dan
geja]a
klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif.
Bila obat yang
diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal.
§
Obat tersering yang
dilaporkan sebagai penyebab adalah golongan salisilat,
sulfa, penisilin, antikonvulsan dan obat antiinflamasi non-steroid.
§
Sindrom ini dapat muncul dengan episode
tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan yang
lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab.
PATOFISIOLOGI
§
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum
jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III
(reaksi kompleks imun) yang
disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen
atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan
reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity
reactions, tipe IV) adalah reaksi yang
dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
§
Pada beberapa kasus yang
dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM,
IgA, C3, dan fibrin,
serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
§
Antigen
penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang
dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar.
Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus,
partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang
timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel
atau jaringan sel yang rusak dan
terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik).
Kompleks imun beredar dapat mengendap di
daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan
reaksi inflamasi yang terjadi.
§
Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel
T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang
terlihat sebagai kelainan klinis lokal di
kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator
serta produk inflamasi lainnya.
§
Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis
keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.
GEJALA KLINIK
§
Gejala prodromal
berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk,
korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan
atralgia yang
sangat bervariasi dalam derajat berat dan
kombinasi gejala tersebut.
§
Kulit berupa eritema,
papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh.
§
Mukosa berupa vesikel,
bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah.
Bula terjadi mendadak dalam 1-14
hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa,
membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra.
Stomatitis ulseratif dan
krusta hemoragis merupakan gambaran utama.
§
Mata :
konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis,
kelopak mata edema dan sulit dibuka,
pada kasus berat terjadi erosi dan
perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan.
Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang
menyebabkan terjadinya ocular
cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang
menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset
sampai terjadinya ocular
cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31
tahun.
DIAGNOSIS
§
Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
laboratorium. Anamnesis dan
pemeriksaan fisis ditujukan terhadap kelainan yang
dapat sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata,
serta hubungannya dengan faktor penyebab.
§
Secara klinis terdapat lesi berbentuk target,
iris, atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam, dan
hasil biopsi yang sesuai dengan SSJ .
§ Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan dengan faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum.
Pemeriksaan yang
rutin dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan darah tepi (hemoglobin,
leukosit, trombosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED),
pemeriksaan imunologik (kadar imunoglobulin,
komplemen C3 dan C4, kompleks imun),
biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan
tempat lesi,
serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
§
Hasil biopsi dapat menunjukkan adanya nekrosis epidermis
dengan keterlibatan kelenjar keringat,
folikel rambut dan perubahan dermis.
§
Anemia
dapat dijumpai pada kasus berat yang
menunjukkan gejala perdarahan.
§
Leukosit biasanya normal
atau sedikit meninggi, dan
pada hitung jenis terdapat peninggian eosinofil.
§
Kadar IgG dan
IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal
atau sedikit menurun, dan
dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar.
§
Pemeriksaan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis di
epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di
daerah epidermis, pembengkakan endotel,
serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah dermis
superfisial.
§
Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM,
IgA, C3, dan fibrin.
Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang
baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru
yang berumur kurang dari 24 jam.
DIAGNOSIS BANDING
§
Nekrosis epidermal
toksik (NET)
dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET
terlihat lebih buruk daripada SSJ.
§
Erythema
Multiforme
§
Burns, Chemical
§
Burns, Ocular
§
Staphylococcal
Scalded Skin Syndrome
§
Toxic Epidermal
Necrolysis
§
Burns, Thermal
§
Dermatitis,
Exfoliative
§
Toxic Shock
Syndrome
PENATALAKSANAAN
§
Terapi suportif merupakan tata laksana standar pada pasien SSJ.
Pasien yang umumnya datang dengan keadaan umum berat membutuhkan cairan dan
elektrolit, serta kebutuhan kalori dan protein yang
sesuai secara parenteral.
Pemberian cairan tergantung dari luasnya kelainan kulit dan
mukosa yang terlibat.
Pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dilakukan sampai mukosa oral
kembali normal. Lesi di
mukosa mulut diberikan obat pencuci mulut dan
salep gliserin.
§
Untuk infeksi,
diberikan antibiotika spektrum luas,
biasanya dipergunakan gentamisin 5mg/kgBB/hari intramuskular dalam dua dosis.
Pemberian antibiotik selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan
uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan
darah.
§
Kortikosteroid diberikan parenteral,
biasanya deksametason dengan dosis awal 1
mg/kgBB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5
mg/kgBB tiap 6 jam,
setelah itu diturunkan berangsur-angsur dan
bila mungkin diganti dengan prednison per oral.
Pemberian kortikosteroid sistemik sebagai terapi SSJ masih kontroversial.
Beberapa mengganggap bahwa penggunaan steroid
sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang
lambat dan efek samping yang signifikan,
namun ada juga yang menganggap steroid
menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
§
Penggunaan Human Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dapat menghentikan progresivitas penyakit SSJ dengan dosis total
3 gr/kgBB selama 3 hari berturut-turut (1
gr/kgBB/hari selama 3 hari).
§
Dilakukan perawatan kulit dan
mata serta pemberian antibitik topikal.
Kulit dapat dibersihkan dengan larutan salin fisiologis atau dikompres dengan larutan Burrow.
Pada kulit atau epidermis yang
mengalami nekrosis dapat dilakukan debridement.
Untuk mencegah sekuele okular dapat diberikan tetes mata dengan antiseptik.
§
Faktor penyebab (obat atau faktor lain
yang diduga sebagai penyebab)
harus segera dihentikan atau diatasi.
Deteksi dari penyebab yang paling
umum seperti riwayat penggunaan obat-obatan terakhir,
serta hubungannya dengan perkembangan penyakit terutama terhadap episode
SSJ, terbukti bermanfaat dalam manajemen SSJ.
§
Antibiotik spektrum luas,
selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan
darah.
§
Antihistamin bila perlu.
Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil)
dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3
tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis,
diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuksetirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5
tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,
1 kali/hari. Perawatan kulit dan
mata serta pemberian antibiotik topikal.
§
Bula di
kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
§
Tidak diperbolehkan menggunakan steroid
topikal pada lesi kulit.
§
Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
§
Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang
jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas,
bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik,
misalnyaklindamisin intravena 8-16
mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
PROGNOSIS
Pada kasus yang tidak berat,
prognosisnya baik, dan
penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu.
Kematian berkisar antara 5-15%
pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan
tidak memadai. Prognosis
lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas.
Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar